BAB I
PENDAHULUAN
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
- politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
- politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
- politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
- politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.BAB II
LATAR BELAKANG MASALAH
Awal tahun 2009, sangat boleh jadi kita masih berhadapan dengan sejumlah masalah di luar dan di dalam parlemen. Sekurang-kurangnya 2,4 juta petani tidak bisa mengakses pupuk bersubsidi. Bersama itu Kepala Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Djamal yang menyebutkan ada 580.510 pengangguran terbuka dan dalam setahun terakhir 20.380 orang yang semula bekerja di sektor industri, konstruksi, serta listrik, air, dan gas kehilangan pekerjaan.
Belum lagi datang dari faktor alam di mana banjir akibat luapan sungai Mahakam, Sebulu, Kab Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur maupun gempa 7,6 SR yang mengguncang Manokwari dan Sorong, Papua.
Tentulah semua itu membuat kita prihatin, dan tak prihatin pula masalah di parlemen. Khusus di sini disoroti secara tajam masalah politik parlemen kita, yang mana masalah di parlemen demikian tampak mengerikan.
Sebanyak 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 akan berakhir pada tahun ini, sebetulnya menghadapi situasi di mana banyak anggota Dewan yang memilih meninggalkan tugas-tugas kedewanan dan lebih berkonsentrasi pada pencalonan dirinya kembali di pemilu, merupakan hal yang sangat tidak dibenarkan.
Karena dampaknya, sekurang-kurangnya, Rapat panitia kerja Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial ataupun RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahkan harus dibatalkan berkali-kali karena gagal kuorum.
Tampaklah di sini politik menjadi "barang mainan". Sebetulnya politik bagi kita adalah hal yang lazim; karena sistem demokrasi juga mengajarkan bagaimana politik tak menafikan begitu saja meraih kekuasaan; sepanjang masih dalam koridor-koridor etika berdemokrasi dan berkonstitusi.
Akan tetapi kemudian soalnya menjadi lain tatkala kita juga masih jumpai di sejumlah tataran implementasi: ada kecenderungan partai politik (dan ataupun sebagian para politisi) justru mengejar kekuasaan sesaat. Konesekuensinya: acap membuat mereka lupa pada tujuan etis politik, yaitu membangun kesejahteraan bersama. Maka meskipun telah terjadi transisi sistem kekuasaan, ternyata tidak banyak perubahan dalam proses berdemokrasi.
Sangat kita sayangkan bahwa pada akhirnya kita kerap dihadapkan oleh kenyataan: banyak anggota Dewan cenderung memikirkan karier politiknya, sementara rakyat ditinggalkan. Rakyat yang merupakan konstituen partai hanya ditempatkan sebagai pembenar atas kerja politik mereka maupun partai.
Dari permainan politik yang demikian, kita yakin, bakal sulit masyarakat diyakini bahwa partai politik juga semacam saluran perubahan menuju keadaan kemasyaratan yang lebih baik lagi. Padahal, kita tahu, partai politik juga pada dirinya mempunyai fungsi kelembagaan kemasyarakatan; namun ketika ia bergeser dari fungsi ini, maka ia sulit menjadi titik tolak, sehingga partai politik bukan lagi cultural focus masyarakat.
Di sini, kemudian, secara tak langsung, partai politik pun ikut “mengarahkan” lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan suatu sistem yang terintegrasi membangun bangsa. Jadi, pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan pun, terutama sekali, partai politik tidak ketinggalan.
Tentu, kita berharap, janganlah melulu fungsi suatu organisasi sosial politik ditentukan begitu. Kesepakatan sistem bermain politik, dari itu, jangan dilanggar. Apabila ini benar, maka aturan-aturan yang disepakati dan cara-cara penegakannya bukan lagi merupakan masalah politik.