BAB 1
PENDAHULUAN
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".[Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Walaupun pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu telah diasingkan.
Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Golongan Islam, yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo, berpihak pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari golongan nasionalis, berpegang pada negara sekuler.
BAB 2
LATAR BELAKANG MASALAH
Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso di tahun 2005.
Sejak awal sejarah Indonesia, keterlibatan negara dalam urusan-urusan agama tak terelakkan. Sulit menilai apakah ini merupakan sesuatu yang positif atau negatif. Keterlibatan itu lebih merupakan konsekuensi alamiah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa awal sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka.
Persoalan utama yang kemudian muncul adalah bagaimana negara menampung aspirasi keberagamaan rakyatnya dan, karena adanya kemajemukan, bagaimana menciptakan rambu-rambu lalu-lintas di antara agama-agama. Setiap kebebasan selalu diikuti dengan hukum. “Negara menjamin kebebasan beragama” yang ada dalam UUD 1945 pun berarti juga membatasi kebebasan itu di wilayah-wilayah persentuhan satu komunitas agama dengan komunitas-komunitas lainnya.
Beberapa persoalan besar kita berawal dari sini. Salah satunya menyangkut definisi “agama” untuk kepentingan administratif kenegaraan dan legalitasnya. Definisi-definisi agama yang diajukan biasanya memiliki bias Islam dan Kristen (sebagai agama Ibrahimi terbesar di Indonesia) yang amat kentara—misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Buddha, tak sepenuhnya memadai. Nyatanya, toh sejak awal Hindu dan Buddha selalu disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Buddha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia. Upaya pendefinisian terutama adalah persoalan politik.
BAB 3
PENANGANAN MASALAH
Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut. Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia. Pemerintah Australia, yang diwakili oleh menteri luar negerinya, Alexander Downer, sangat mendukung konferensi tersebut.
Kebijakan-kebijakan selayaknyalah dibuat atas dasar saran dan usulan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan melalui sosialisasi yang memadai. Idealnya, DPR memang mewakili rakyat dalam segenap aspeknya. Namun karena DPR tak mungkin dituntut sejauh itu, selalu perlu proses komunikasi dengan wakil-wakil masyarakat. Penetapan target waktu yang tergesa-gesa hanya akan memunculkan kontroversi. Kasus UU Sisdiknas dan RUU KUB (yang sempat diingkari eksistensinya ketika sudah mulai dibicarakan masyarakat) semestinya menjadi pelajaran yang berharga. Dalam suatu negara demokratis, penafsiran atas ideologi atau nilai-nilai yang melandasi negara itu mesti terus menerus ditafsirkan. Dan penafsiran bukan hanya merupakan hak lembaga-lembaga negara, tapi mesti diserahkan kepada dinamika masyarakat, yang terus berkembang. Jika tidak, yang muncul bukan hanya kontroversi tapi juga matinya benih-benih masyarakat sipil yang sedang diperjuangkan.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar